Bukan mereka saja yang angkat
senjata merebut kemerdekaan, bukan mereka saja yang memproklamirkan bangsa
kita, bukan mereka saja yang juara dunia atlit bulutangkis, bukan mereka saja
mereka yang menang oliampiade. Itu dahulu pejuang pahlawan kita. Tetapi mereka
juga bisa disebut pahlawan. Siapa dia ?.
Pahlawan bermacam-macam jenis dan
kondisi momentum, dalam bidang kehidupan ada pahlawan yang tidak diakui dan
tidak mau diakui, terdengar ataupun tak mau didengarkan mereka, buruh tani
angkatan 05 pagi, mereka didesa yang tiap hari mengangkat cangkul, membawa
sabit, dengan semangat perang dengan musuh bernama kelaparan.
Awal Maret 2011 di dunia dikabarkan,
media masa dan elektrnonik di ada “ancaman krisis pangan dunia”. PBB pun gelisah sebagai palang merah negara dunia
dengah FAO nya sudah resah akan kekurangan pangan. Beda misalnya; dengan
komunitas warga di desa Penyalahan,Jatinegera Kabupaten, Tegal, Jawa Tengah.
Desa anti globalisasi yang dingin tanpa polusi C02, berjarak 45 km dari gunung
Selamat tersebut, pahlawan pangan bernama “buruh tani” tiap hari jam 5 pagi
mengadakan agresi perang melawan kelaparan.
Bukan hanya di Libya, Mesir,
Yordania, Irak dan sejumlah negara di Timur Tengah yang sedang bergolak perang
mempertahankan kedaulatan hidup dan prinsip hidup demi mempertahankan visi
hidup. Mempertahankan idealisme kebenaran diatas kebenaran, memegang prinsip
diatas prinsip, merebut hak diatas hak.
Buruh Petani sebagai pahlawan pangan terus bertempur tiap
hari, mereka tidak mempersalahkan prinsip,visi hidup, idealisme, apalagi
kebenaran. Tetapi buruh tani menunggu tantangan serangan atau dari musuh,
mereka punya musuh bernama “kelaparan”. Sebuah perang alam dengan amunisi ini
merupakan sebuah perang dingin berabad-abad yang tidak pernah di gembor-gemborkan
melalui media karena dianggap tidak menarik oleh media, atau tidak seheboh isu
artis atau konflik politikus penguasa.
Tetapi buruh tani dengan senjata cangkul, parit, sabit, juga
tidak takut akan kekalahan apalagi takut tidak menang, mereka pahlawan pangan
pasti menang, walaupun mereka sebenarnya pada posisi terpenting dalam
kehidupan, tanpa adanya pangan yang memadai. Misalkan, tidak ada yang mereka,
perang dingin terjadi gara gara tidak makan.
Peperangan ‘buruh tani’ dengan
logistik cukup makanan kecil (ubi kayu, ketela,) dan secangkir kopi serta
lintingan tembakau, mereka tetap kuat tiap hari, dan makanan ransuman dengan
ala kadarnya mereka punyai. Tanpa ada makanan yang berlebih ataupun makanan
impor ataupun makanan kemasan dari supermarket hasil kapitalis itu.
Buruh tani sadar akan posisi mereka
yang paling bawah dalam panggung kehidupan dunia, tetapi itu menurut kacamata
struktur politik salah kaprah, tetapi justru mereka adalah pahlawan panglima
kehidupan yang tanpa tanda jasa dan tanda pangkat. Hanya mereka buruh mau dan
kerja keras di bawah panasnya matahari dan gatalnya hewan di sawah.
Orang-orang desa yang sudah menjadi
tumbal kebijakan pusat atau sasaran perang globalisasi juga tidak pernah usul
atau tidak pernah ribut akan posisi sebagai pasukan tempur yang menentukan
kesejahteraan bangsa ini. Mereka tidak butuh APBD atau anggaran utnuk perang,
mereka tidak perlu berdiplomasi, mereka tidak butuh rapat rapat gelap untuk
mengatur strategi.
Mereka buruh tani di desa sudah tahu
musuh siapa kawan, siapa yang tidak dimasalahkan, mereka hanya ingin kemenangan
panen yang berhasil, hama yang ada diberangus dan diberi makan untuk hidup,
hama juag ciptaan manusia, yang ]harus hidup, tetapi petani tahun bagaimana
hama tetap hidup tanpa harus perang dan melawan, sebab menghabiskan energi,
karena ada hama wereng yang
menguntungkan petani.
Buruh tani tahu akan peristiwa perang di dunia sana,
petani sadar dan tahu mereka sedang bergejolak, mereka juga tahu bahwa
sama-sama milisi perang mereka tetap tidak gentar dan tetap bekerja keras.
Bekerja keras tanpa pamrih tanpa dishooting media masa, tanpa disebarluaskan
seperti perkawinan dan perceraian para artis, agar mereka (buruh tani)
terkenal.
Tidak lain halnya dengan para pejabat, pemimpin,
pengusaha dan pemberontak kelas dunia
atau kelas kroco di sebuah panggung politik untuk merebut kekuasan dengan
segala cara keji dan biadab. Serta kerasukan nafsu emosi kekuasaan yang terus
meliputi wajah para pendekar pahlawan.
Hanya ada satu puncak kepahlwan para
buruh petani, ketika menang dan sudah siap tanam tanpa gangguan. Mereka
merayakan dengan pesta kegembiran dan burung-burung pun ikut bergoyang
menyaksikan kehebatan para petani, mereka tidak ada yang rugi, hama wereng
coklat atau siapapun yang sekomunitas dengan para petani di sawah dan diladang
mereka adil sama-sama menginginkan hidup.
Tidak lain dengan pertempuran sengit
invasi Irak, Libya, Yordani, Mesir, dan beberapa negara yang sedang bergolak
akibat perang, yang menang pasti menari
dan gembira sampai dengan pesta-pesta ditempat hiburan untuk simbol
kepahlawanan mereka, yang kalah menjadi dendam dan merancang serangan lagi
tanpa peduli, selagi nyawa masih ada dan emosi tetap membara dengan 1 gelas
bir.
Menang tidak ada hubungan buruh
petani dengan para penguasa negara, mereka sama-sama perang melawan musuh dan
mereka perang untuk mempertahankan hidup, hanya yang beda perang politikus
kekuasaan, yang kalah tetap perang, yang menang pesta pora, beda dengan buruh
tani. Ketika panen datang pesta dirayakan, hama-hama dan makhluk pengganggu
(musuh) pun senang ikut merayakan kemenangan.
Apakah pahlawan perang kekuasaan
poltik belajar dengan milisi buruh tani.?, jawabannya tergantung mereka yang
sedang perang tanpa henti. walaupun ribuan sipil yang tahu menahu menjadi
korban sasaran perang, hanya sekedar
merebut minyak dan gas.
Ataukah tidak usah meniru dengan
buruh tani yang sedang perang kelaparan, karena buruh tani jug tidak butuh
mereka, perang tidak ada perang atau
genjatan senjat buruh petani tetap perang melawan kelaparan. Demi
mempertahankan hidup. Bravo buruh tani di desa. !!! Makin Bangga jadi anak
petani :D
Komentar
Posting Komentar