Langsung ke konten utama

Pengangkatan Anak


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Manusia sudah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi terkadang semua itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak, sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian, penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga tersebut terancam putus atau punah.
Dalam keadaan demikianlah kemudian para anggota kerabat dapat mendesak agar si suami mencari wanita lain atau mengangkat anak kemenakan dari anggota kerabat untuk menjadi penerus kehidupan keluarga bersangkutan, atapun dengan pengangkatan anak (adopsi).
Ambil anak,kukut anak, anak angkat adalah suatu perbuatan hukum dalam konteks hukum adat kekeluargaan (ketrurunan). Apabila seorang anak telah dikukut, dipupon, diangkat sebagai anak angkat, maka dia akan didudukkan dan diterima dalam suatu posisi yang dipersamakan baik biologis maupun sosial yang sebelumnya tidak melekat pada anak tersebut.
Hukum adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berasal dari nenek moyang dan berlaku secara turun temurun. Hukum adat mengatur tentang masalah perkawinan, anak, harta perkawinan, warisan, tanah dan lain-lain yang selalu dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat agar tercapai ketertiban dalam masyarakat. Hukum adat ini selalu dijunjung tinggi pelaksanaannya. Hukum adat juga mengatur tentang pengangkatan anak.
Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini adalah :
1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan Anak yang berlaku bagi warga negara Indonesia.
3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
4. Jurisprudens
Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak termasuk akibat hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan masyarakat suku Jawa, Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera menurut tata cara hukum adatnya masih dianggap sah dan akibat hukumnya juga tunduk kepada hukum adatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari pengangkatan anak yaitu mengutamakan kesejahteraan anak.
Meskipun pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku, namun masih diperlukan lagi pengesahan dengan suatu penetapan pengadilan atau dengan suatu akta notaris yang disahkan oleh pengadilan setempat.
Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang siapa saja yang boleh mengangkakat anak, dan kriteria laki-laki atau perempuankah yang boleh diangkat. Oleh karena itu, dengan dibuatnya makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengangkatan anak pada masyarakat adat di Indonesia.
B.           Rumusan Masalah
1.                        Apa pentingnya dari pengangkatan anak?
2.                       Apa saja macam-macam pengangkatan anak?
3.                       Bagaimana pengangkatan anak menurut hukum adat Indonesia?
4.                       Bagaimana akibat hukum yang timbul dari pengakatan anak?

C.           Tujuan
1.     Memahami pentingnya dari pengangkatan anak
2.    Mengetahui macam-macam pengangkatan anak
3.    Memahami pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia
4.   Memahami akibat hukum dari pengangkatan anak


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengangkatan anak (Adopsi)
Anak merupakan generasi dari suatu keluarga yang akan meneruskan keturunannya. Oleh karena itu, anak haruslah dididik dengan segala kemampuan yang dimiliki oleh orang tuanya, jangan sampai anak-anak tersebut ditelantarkan. Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam somah/ dalam keluarga yaitu:
1.     sebagai penerus generasi
2.    sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari
3.    sebagai pelindung orang tua kemudian hari dan lain sebagainya, apabila orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi (Bewa Ragawino : 63).
Namun, seiring dengan meningkatnya krisis ekonomi di negara Indonesia ini banyak anak yang ditelantarkan. Atas hal tersebut menimbulkan partisipasi dari rakyat dengan mengangkat anak oleh keluarga yang ingin mengasuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan anak tersebut. 
Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri.[1] Hubungan yang timbul ini berupa akibat hukum yang timbul dari perbuatan hukum pengangkatan anak.
Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari Adoptie (Belanda) atau adoption (Inggris). Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a child.[2]
Alasan yang menjadi pertimbangan dalam pengangkatan anak bermacam-macam. Ada yang karena untuk kepentingan pemeliharaan di hari tua, keadaan ekonomi keluarga yang lemah dan ada yang karena kasihan terhadap anak yatim piatu. Bahkan, ada kalanya pengangkatan anak dilakukan dengan pertimbangan yang mirip dengan adopsi yang diatur oleh ketentuan adopsi ( Stb Nomor 129 tahun 1917 ) yaitu untuk menghindari punahnya suatu keluarga atau untuk melestarikan keturunannya.
Mengapa keturunan sangat penting bagi masyarakat hukum adat? Menrut Djojodigoeno adalah sebagai berikut:[3]
“Keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain.”

Jadi disini jelas bahwasannya keturunan adalah merupakan unsur yang mutlak bagi suatu clan atau keluarga, suku dan kerabat yang menginginkan supaya ada generasi penerus leluhurnya.
Mengenai siapa saja yang boleh mengangkat anak, dalam hukum adat tidak ditentukan. Tetapi menurut R. Soeroso, dijumpai ketentuan minimal berbeda 15 tahun. Tentang siapa yang boleh diadopsi juga tidak ada ketentuan harus laki-laki ataukah perempuan, serta tidak ada batasan usia untuk anak yang akan diangkat. Tujuan dari pengangkatan ini tentunya bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material, tetapi sifatnya lebih tertuju kepada tujuan kemanusiaan belaka yaitu untuk mencapai kesejahteraan anak.
Dalam pengangkatan anak dalam hukum adat akan membawa anak dalam kedudukan yang membawa dua kemungkinan[4]:
1.     Sebagai nak, sebagai anggota keluarga melanjutkan keturunan, sebagai ahli waris (yuridis)
2.    Sebagai anggota masyarakat (sosial) dan menurut tata cara adat. Perbuatan adopsi pasti dilakukan dengan terang dan “tunai”[5]
Hal ini diperkuat kembali oleh Tolib Setiady yang menyatakan, Kedudukan hukum anak yang diangkat adalah sama halnya dengan anak kandung dan hubungannya dengan orang tuanya sendiri menurut adat menjadi putus. Dan proses adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengna upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. [6]
B. Macam-macam Pengangkatan Anak
Dilingkungan masyarakat hukum adat dikenal dua klafikasi kedudukan anak angkat yaitu; pertama, kedududkan anak angkat sebagai anak kandung untuk penerus keturunan orang tua angkatnya. Misalnya pada masyarakat Batak yang sistem kekerabatanya patrilineal murni. Dimana kedudukan anak laki-laki sangat penting sebagai penerus keturunan, jadi apabila tidak mempunyai anak laki-laki harus mengangkat anak laki-laki yang status kedudukannya sebagai anak kandung. Kedua, kedudukan anak angkat yang diambil tidak dengan maksud sebagai penerus keturunan orang tua angkatnya. [7]
 Dalam makalahnya, Bewa Ragawino menyebutkan bahwa macam-macam pengangkatan anak adalah: [8]
a.    Mengangkat anak bukan warga keluarga atau disebut dengan adopsi dari anak asing
Anak yang hendak diangkat dilepaskan dari lingkungannya semula dan dipungut masuk kedalam kerabat yang mengadopsinya, serentak dengan suatu pembayaran berupa benda-benda magis sebagai taranya dan dilakuakn dengan terang disaksikan oleh para kepala adat. Hal ini dapat kita temukan pada masyarakat adat  daerah Gayo, Nias, Lampung, Kalimantan.
b.    Mengangkat Anak dari kalangan keluarga atau dalam satu clan besar kerabat adatnya.
Mengangkat anak dari kalangan keluarga atau masih dalam satu clan kekerabatan ini banyak kita jumpai pada masyarakat adat di Bali. Perbuatan ini sering disebut dengan “nyentanayang”. Biasanya anak selir-selir yang diangkat menjadi anak angkat, karena istri utama tidak dapat memberikan keturunan. Jika tidak terdapat wangsa laki-laki yang dijadikan anak angkat,maka dapat juga anak perempuan diangkat sebagai setana, dan sering disebut dengan “setana  rejeg”[9]
Dengan mengikuti peraturan “Paswara” Pasal 11 ayat (1) menentukan sebagai berikut. "Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun djuga jang tidak mempunjai anak-anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras sentana) maka mereka itu harus mendjatuhan pilihannja atas seorang dari anggota keluarga sedarah jang terdekat dalam keturunan lelaki sampai deradjat kedelapan".[10]
Pengangkatan dilakukan melalui upacara Paperasan yaitu upacara yan dihadiri oleh kepala adat dan keluarga dalam satu pakraman. Upaca dilakukan dengan membakar benang melambangkan hubungan dengan ibunya putus, dan pembayaran adat berupa 1.000 (seribu) kepeng serta stel pakaian. Yang kemudian diumumkan (siar) kepada warga desa, dan kemudian raja memeberikan izinnya dengan membuatkan akta (surat”Peras).
Memperhatikan ketentuan di atas, tampak ada beberapa poin penting yang patut diperhatikan apabila pasangan suami-istri ingin mengangkat anak, yaitu: (1). Anak yang diangkat berasal dari anggota keluarga sedarah terdekat (“kasta” yang sama), dalam garis keturunan laki-laki. (2) Perlu mendapat persetujuan keluarga dan desa pakraman.

c.         Mengangkat anak dari kalangan Keponakan atau sering disebut dengan adopsi kemenakan
Dalam pengangkatan anak (adopsi) kemenakan ini selain dilatarbelakangi karena alasan tidak/ belum dikaruniai anak, juga terdorong oleh rasa kasihan/iba. Perbedaan antara adopsi kemenakan dan adopsi dengan satu clan/ kekerabatan dalam perbedaan status dan tidak adanya pembayaran.[11] Dijawa pengangkatan seperti ini sering disebut dengan “pedot”
Menurut Tolib Setiady , sebab-sebab mengangkat anak dari keponakan adalah :
1.    Tidak mempunyai anak sendiri sehingga dengan memungut keponakan tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan
2.   Belum dikaruniai anak sehingga dengan memungut anak tersebut diharapkan akan mempercepat kemungkinannya akan medapatkan anak (kandung)
3.   Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan karena misalnya hidupnya kurang terurus, dan lain sebagainya.[12]
C. Asas Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Adat
Dalam pengangkatan anak pada masyarakat adat kan memunculkan asas-asas antara lain:
1.       Asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan
2.      Asas mengangkat anak laki-laki untuk meneruskan garis keturunannya
Biasanya terjadi pada msyarakat Bali, dan Patrilineal.
3.      Asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat
Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma (1987 : 144) dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : “Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum berlaku bagi anak yang bersangkutan”. Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, meskipun anak angkat tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi menurut Keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua angkat, sedang terhadap harta asal orang.
4.      Asas kekeluargaan
5.      Asas kemanusiaan
Selain alasan belum/tidak mempunyai keturunan dalam pengangkatan anak juga berlandaskan kemanusiaan. Namun untuk  masyarakaat yang menganut sistem kekerabatan Matrilineal, kedudukan anak tidak sama dengan anak kandung, begitu juga pada masyarakat Parental. Pengangkatan anak pada masyarakat Parental juga tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Anak angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.
6.      Asas persamaan hak
Anak angkat dalam masyarakat adat diterima secara biologis dan sosial, sehingga kedudukannya sama dengan anak kandung begitupula dengan hak-haknya sebagai anak.
7.      Asas musyawarah dan mufakati
Sebelum melakukan pengangkatan anak dalam keluarga, harus didahului musyawarah dan mufakat keluarga besar.
8.     Asas tunai dan terang
D.          Kedudukan Anak Angkat dalam masyarakat adat
Dalam pengangkatan anak dalam masyarakat adat kedudukan anak angkat dapat dibedakan:[13]
1.       Anak angkat sebagai penerus keturunan
Di Lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.
Di Bali anak angkat sebagai penerus keturunan dengan mengawinkan anak wanita kandung bapak angkatnya, anak itu menjadi sentana rejeg yang mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.
2.      Anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan
Terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara suku (adat) yang berbeda (batak;marsileban).
Di batak jika suami yang diangkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak dari kerabat “namboru” (marga penerima dara) dan jika isteri yang diangkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak tiri kerabat “hula-hula” (Tulang, marga pemberi darah)
Pengangkatan anak atau saudara (lampung; adat mewari) tertentu sebagai tanda penghargaan, misalnya mengangkat seorang pejabat pemerintahan menjadi saudara angkat
Pengangkatan anak karena penghormatan ini juga tidak berakibat menjadi waris dari ayah angkat si anak, kecuali diadakan tambahan perikatan ketika upacara adat dihadapan para pemuka adat dilaksanakan.
Jadi, kedudukan anak di masing-masing daerah yang menganut sistem kekerabatan yang berbeda berbeda pula kedudukan anak angkat dalam keluarga barunya.

E.           Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing.[14] Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu angkatnya- atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan. Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
a. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
b. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
c. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada orang tua angkat.
d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat

Pendapat lain mengenai akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak:
a.      Dengan orang tua kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
b.      Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung. Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya.
Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : “Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum berlaku bagi anak yang bersangkutan”. Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, meskipun anak angkat tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi menurut Keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua angkat.[15]



[1] Soeroso, 2003, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta,Sinar Grafika, hlm. 176Soeroso, 2003, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta,Sinar Grafika, hlm. 176
[2] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981, hal 13.  
[3] Soerojo Wignjodipuro, 1986, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, CV Haji Masagung,
halaman 108.
[4] Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, cetakan ke-10, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006. Hal33
[5] Tunai: berarti perbuatan itu akan selesai ketika itu juga, tak mungkin ditarik kembali atau eenmalig dan irrevoceble
[6] Tolib Setiyady. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan). Bandung : Penerbit Alfabeta,  2009, hal: 216
[7] Surojo Wignjodipuro:1986:186-189
[8] Ragawino, Bewa. ---. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia.Unpad, hal 67-68
[9] Imam Sudiyat. Hukum Adat: Seketsa asas. Cetakan ke-4. Yogyakarta; Liberty Yogyakarta. 2000. Hal. 102
[10] Wayan P. Windia http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=13&id=53909 pada pukul 8;24 tanggal 12 Desember 2011

[11] Imam Sudiyat hal 103
[12] Tolib Setiyady. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan). Bandung : Penerbit Alfabeta,  2009, hal: 216
[13] Puji Wulandari. Hand out Hukum Adat Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, Universitas Negeri Yogyakarta
[14] Sunarmi. ---. Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat). Universitas Sumatera Utara. Hal.6

[15] Hilman Hadikusumo, Hukum kekerabatan Adat. Jakarta: FajarAgung, 1987 hal 144

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pahlawan tanpa Pangkat

Capung-capung melayang-layanng di udara  bak pesawat terbang, diiringi nyanyian jangkrik dan tarian kupu-kupu. Senja ini sungguh indah. Diantara hamparan padi yang menhijau itu masih terselip sepetak sawah yang ditanami kacang tanah, itu adalah sawah embah . Entah mengapa ketika orang-orang menanam padi simbahku palah memilih menanam kacang, yang sekarang sudah siap panen. “Mbah, kok beda sama yang lain?? Yang lain nanem padi kok mbah nanem kacang?” tanyaku “Owh, ini bekas nanem winih nduk,, buat nanem padi sawah lor,” jawab simbah sambil tersenyum Aku adalah orang desa. Ayahku seorang petani dan dari keluarga petani juga, sedangkan ibuku seorang pedagang yang berasal dari keluarga petani juga. Hampir seluruh masyarakat di daerahku bekerja sebagai petani, namun tak jarang pula yang menjadi pedagang dan PNS namun jumlahnya kecil sekali.  Namun aku bangga menjadi anak petani,bagiku petani adalah pahlawan. walau banyak orang memandang sebelah mata. Bagi mereka petani adal
Menyerah!