Bismillah...
Akhirnya, sang adik memutuskan untuk tetap melangkah menuju rumah-rumah yag tak berpenghuni itu. Dengan bekal yang ia bawa dari rumah dan kakaknya ia berusaha bertahan dan mencoba membenarkan genteng yang mlorot dari posisinya. “Membenahi satu genteng saja membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak apa lagi, embenahi semua genteng, belum lagi dinding gedek yang berlubang , sanggupkah aku,”ujar sang adik dalam hati.
_dalam kesendirian kota, yang jauh dari kesibukan_
“Pulanglah nak…., saudara-saudaramu menunggumu.”uajar seorang kakak kepada adiknya yang bingung menuju jalan pulang.
“Tapi kak, dirumah sudah terlalu banyak orang-orang yang lebih baik dari ku, aku pergi saja dan mencari rumah yang jarang dan bahkan tak ada penghuninya,”jawab adiknya.
Ragu adalah perasaan yang menghranyuti hatinya ketika itu. Bagaimana tidak? disisi lain ia ingin tetap dirumah, bersama saudara-saudaranya namun disisi lain banyak rumah yang kosong tak ada atau ditinggal penghuninya. Karena kekosongan itulah bangunanya rusak dan hampir roboh.
“Baiklah jika itu pilihanmu, apa boleh buat??Aku tak bisa melarangmu,,,Apakah bekalmu sudah cukup??,”kawatir sang kakak kepada adiknya.
“Hemmm…semoga saja cukup, tapi agar ku tak kehabisan sebelum selesai membenahi rumahnya bagaimana caranya kak??”resah sang adik, mencari seribu cara agar ia mampu bertahan dirumah yang akan ia huni.
“Hemm..baiklah, sebagai pengganjal perut kau bisa makan ini, ini dapat menjadi dasar perutmu”solusi sang kakak, sembari menyodorkan sekotak nasi yang dicampur beberapa sayuran yang dapat menawar bermacam-macam bakteri yang dapat mengganggu . Dengan gesit sang adik menyambar kotak tersebut dan memasukanya kedalam ranselnya
“Tapi ingat, kau harus jaga kesehatan, ingat kau masih punya banyak saudara, jangan kau lupakan saudaramu dirumah,”Nasihat sang kakak
“Baiklah kak,,saya akan mengingatnya,”ujar sang adik sembari mengelap air mata yang mengalir deras tanpa ia kehendaki
“Bagaimana pun juga kita butuh rumah, dan saudara…karena dari merekalah kita menemukan kekuatan,”Ujar sang kakak sebelum di senja itu.
Akhirnya, sang adik memutuskan untuk tetap melangkah menuju rumah-rumah yag tak berpenghuni itu. Dengan bekal yang ia bawa dari rumah dan kakaknya ia berusaha bertahan dan mencoba membenarkan genteng yang mlorot dari posisinya. “Membenahi satu genteng saja membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak apa lagi, embenahi semua genteng, belum lagi dinding gedek yang berlubang , sanggupkah aku,”ujar sang adik dalam hati.
Setiap hari sang adikpun hanya memperoleh tekanan batin, disatu sisi ia harum membenahi genteng yang cukup banyak disisi lainbekalnya semakin hari, semain menipis saja. Saat melihat bekalnya ia selalu menangis dan menyesal mengapa ia memilih rumah keluar dari rumahnya yang nyaman itu. Namun seketika itu juga, ia yakin jika ia dapat melewati cobaan ini maka ia akan semakin kuat.
Hari,demi hari dilewatinya dengan penuh semangat, menjalani kehidupanya yang sekarang. Namun semakin hari pula kesehatanya terganggu ia mulai batuk-batuk, dan sering kali kepalanya sakit seperti ditusuk jarum. Perbekalanpun makin menipis saja padahal ia baru saja membenahi 2 buah genteng itupun sudah muali geser dari tempatnya.
Tiba-tiba ia ingat akan saudara-saudaranya di rumah, terutama sang kakak. Sang adik pun berfikiran hendak pulang “hemmm…saya ingat kakak, dan sudara-saudara dirumah. Kalau begini terus apakah sebaiknya saya pulang saja ya..,”uajar sang adik dalam hati.
Fikran sang adikpun mulai kacau, ia ingin sekali pulang kerumah berjumpa dan bercanda dengan saudara-saudaranya seperti dahulu, tapi ia malu. Sang adik selalu beranggapan bahwa saudara-saudaranya sekarang pasti lebih sehat dan tampan dari dirinya. Alasanya, karena kesehatan mereka lebih terjamin dari segi mutu dan kualitas.
“Wahai saudaraku apakah kau masih menerimaku yang kering keronta ini?? apakah kalian tidak malu mempunyai saudara sepertiku??”Ujar sang adik dalam hati
_dalam kesendirian kota, yang jauh dari kesibukan_
Komentar
Posting Komentar