Langsung ke konten utama

Satu Atap beda Dunia

Sudah 3 pekan, namun sosoknya masih membekas di benak ku. Simbah Kakung, sosok terdekat yang isnpiratif. Dan tulisan ini juga terinspirasi oleh sosoknya.

Sudah 2 pekan aku berada di Jakarta, dan selama itu pula mataku terbelalak lebar tentang kehidupan di Ibukota. Dan selama dua pekan pula aku berfikir tentang rumah, mamak, bapak, biyung dan adekku puput. Berfikir tentang kehidupan di Banjurpasar (sebuah desa yang terletaak dipesisir kebumen) hingga omongan mba yenika tentang pendidikan Indonesia. 


Setelah beberapa hari tinggal di jakarta saya membayangkan rumah-rumah di banjurpasar dan bisa jadi termasuk rumahku. Di sana saya sadar telah berjumpa dua dunia dalam satu atap. Mereka menyantap makanan dan minum dari sumber yang sama, namun anak dan orangtua seperti menjalani hidup yang berbeda.
Saat sang anak bersiap ke sekolah, ibunya memasak dengan kayu bakar dan merapihkan rumah, lalu berangkat ke sawah atau mengerjakan pekerjaan rumah lain seperti membuat emping atau membuat tambang dari sepet. Sementara ayahnya mengurus ternak atau unggas. Ketika sang gadis berangkat sekolah mengendarai motor, orangtuanya berjalan menuju kebun. Sepulang sekolah, ketika sang anak menikmati tayangan televisi, ibunya bersantai di teras membelah daun pisang untuk bungkusan penganan—setelah pulang dari kebun sambil membawa kayu bakar. Sementara sang ayah masih di luar rumah, mungkin di kebun atau memeriksa saluran air.

Bila sore tiba, ayah masih di kebun atau mengurusi ternak. Ibu mengepulkan asap dapur atau beristirahat diteras. Anak bangun dari istirahat siang, menonton televisi atau mengutak-atik telepon genggamnya. Sehabis makan malam, ketika sang ibu sudah berangkat tidur dan ayah ngobrol dengan kawan di beranda, tentang naik-turun harga komoditas, serangan hama, ancaman kekurangan air. Sang putri menghapalkan buku pelajaran, entah tentang tugas-tugas ASEAN atau dewan keamanan PBB. Setelah itu ia menonton sinetron, infotainment atau kompetisi bernyanyi—kadang bersama ibunya yang biasanya lebih cepat berangkat tidur.

Urbanisasi rupanya tak mesti berarti mengalirnya orang desa ke kota-kota, tetapi mengalirnya gagasan, informasi dan barang-barang dari kota ke desa. Orang di desa tidak harus ke kota untuk mengkonsumsi semuanya. Gaya hidup perdesaan dan perkotaan secara bersamaan mengada di satu desa, di satu rumah, bahkan di satu individu.

Individu ini biasanya anak yang pulang dari sekolah di kota, membawa gaya hidup kota, meski masih menjalankan sebagian praktik-praktik orang desa. Di sore hari sebagian muda-mudi ini terlihat sibuk dengan telepon genggam di tepi jalan sembari menikmati pemandangan sawah yang indah atau nongkrong didepan pasar yang sepi ketika sore, karena pasarnya hanya ada dipagi hari. Kadang dengan pasangan masing-masing, mereka bersantai di atas atau di dekat motor. Mereka pun kerap terlihat memacu motor mondar-mandir di jalan utama desa, yang membuat seorang tetua menyimpulkan: “mereka naik motor bolak-balik, tak ada yang dijemput tak ada yang diantar.” Bagi sang tetua, kendaraan lebih merupakan alat angkut ketimbang alat rekreasi atau alat pamer.

Tetapi anak-anak muda desa ini memang tengah mondar-mandir mengangkut ketakpastian. Orang tua mengirim mereka ke sekolah karena tidak melihat lagi masa depan menjanjikan di kebun—yang terus menerus dikorbankan oleh berderet kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan produktifitas, terutama untuk ekspor, ketimbang kesejahteraan petani. Mereka pun mengirim anak bersekolah dengan sedikit pengetahuan mengenai mutu pendidikan kita, dan sedikit tahu tentang apakah sekolah bisa menjamin pekerjaan yang layak untuk putra-putri mereka. Orang tua desa tak banyak tahu bahwa sebagian kampus menjual pendidikan sebagai komoditas dengan mutu kian menurun, atau mutu tinggi dengan harga selangit. Isi pelajaran umumnya juga pelan-pelan menjauhkan mereka dari kerja memuliakan tanah.

Para orangtua di desa cuma tahu, bertani dengan tanah yang kian susut tidak enak, karena harus berpayah-payah untuk mendapatkan hasil yang tak seberapa. Saya sering mendengar orangtua petani mengatakan betapa enaknya bekerja kantoran. Mereka tidak keliru. Profesi petani mirip sapi perahan. Bedanya petani cuma diperah namun tak diasupi ‘pakan’ yang cukup. Mereka masih dibiarkan hidup hanya agar bisa terus diperah. Mereka membayar terlalu mahal sembari menerima bayaran terlalu rendah dari orang kota untuk produk-produk mereka. Wajar bila angka orang miskin di desa nyaris dua kali lipat ketimbang di kota, 18 juta lebih versus 10 juta lebih, menurut data Badan Pusat Statistik 2013.
Akhirnya memang populasi keluarga petani berkurang 5 juta dalam sepuluh tahun, demikian menurut Sensus Pertanian 2013. Mungkin satu sebabnya adalah tidak semua anak muda yang pulang ke desa masih bisa atau rela menjadi petani. Tetapi, mereka yang tak pernah meninggalkan desa sekalipun sering sulit bertani, atau hanya menjadi buruh tani (bukan ‘petani’ menurut kategori Sensus Pertanian), karena kurangnya ladang garapan buat mereka. Pengangguran atau semi-pengangguran, kentara atau tidak, masih sekolah atau menganggur, merebak di desa. Boleh jadi, merekalah yang setiap sore lalu-lalang dengan motor di jalan desa. Orang-orang lalu menamai perilaku mereka sebagai ‘kenakalan remaja’.

Padahal yang terjadi adalah ‘perpanjangan masa kanak-kanak’, seperti yang ditemukan Ben White di Jawa. Sekolah, terutama hingga tingkat tinggi, membuat banyak anak muda sulit mengakses pekerjaan. Mereka terhambat melakukan kerja produktif yang menghasilkan uang. Ini membuat ketergantungan finansial anak muda terhadap anggota keluarga senior berlangsung lebih lama. Bersamaan dengan itu kebutuhan mereka juga menanjak dengan adopsi gaya hidup baru—baik yang tak bisa dihindari maupun bersifat konsumtif. Ketiadaan pekerjaan dan peningkatan kebutuhan kemudian menjadi sumber ketegangan di antara anggota keluarga senior dan anak muda.

Perbedaan gaya hidup itu sendiri juga mencipta ketegangan-ketegangan lain. Seperti ketika seorang ibu kesal melihat anak gadisnya tak mampu melakukan tugas sederhana seperti menebas daun pisang di kebun dekat rumah; atau kepala sekolah yang khawatir melihat anak didiknya sibuk memelototi telepon genggam—yang ia duga sedang menonton film porno.
Memang, ketegangan serupa juga terjadi di rumah-rumah orang kota. Tetapi di desa, orangtua kerap tak paham atau sulit mengakses dunia baru anak-anak mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengangkatan Anak

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Manusia sudah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi terkadang semua itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak, sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian , penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga tersebut terancam putus atau punah.

Hatilah penyebabnya

warna jingga merona di ufuk senja menghiasi indahnya cakrawala. Sang surya pun perlahan mulai tenggelam di balik awan kelam. Dan sebentar gelap pun akan menyelimuti semesta. Tampak diriku sedang berdiri terpaku sambil menatap langit yang mulai menggelap. Desir sang bayu terasa lembut menerpa wajahku. Yang sambil membisikkan rayuan ke dalam anganku. wajah yang belakangan seringkali kusam karena ulahku Perlahan ku gambar seketsanya Dan kulihat satu guratan jelas penyebanya Ohh....  Perih...!!! Hati, ternyata hatilah penyebabnya Djogja, 15 September 2012 Jagalah hati, karena hati adalah pengendali jagalah hati, dengan mengingat Sang Pemilik hati

Pahlawan tanpa Pangkat

Capung-capung melayang-layanng di udara  bak pesawat terbang, diiringi nyanyian jangkrik dan tarian kupu-kupu. Senja ini sungguh indah. Diantara hamparan padi yang menhijau itu masih terselip sepetak sawah yang ditanami kacang tanah, itu adalah sawah embah . Entah mengapa ketika orang-orang menanam padi simbahku palah memilih menanam kacang, yang sekarang sudah siap panen. “Mbah, kok beda sama yang lain?? Yang lain nanem padi kok mbah nanem kacang?” tanyaku “Owh, ini bekas nanem winih nduk,, buat nanem padi sawah lor,” jawab simbah sambil tersenyum Aku adalah orang desa. Ayahku seorang petani dan dari keluarga petani juga, sedangkan ibuku seorang pedagang yang berasal dari keluarga petani juga. Hampir seluruh masyarakat di daerahku bekerja sebagai petani, namun tak jarang pula yang menjadi pedagang dan PNS namun jumlahnya kecil sekali.  Namun aku bangga menjadi anak petani,bagiku petani adalah pahlawan. walau banyak orang memandang sebelah mata. Bagi mereka petani adal