Menuliskan ide ke dalam tulisan ini susah sekali, otak serasa mandeg dan jemari serasa kaku. Tepat satu bulan sudah, jemari-jemariku tak ku latih untuk menulis lagi. Namun, itu bukanlah alasan, atau mungkin karena sudah lama otak ini tidak bekerja, maklum masih dalam kondisi liburan pasca lebaran.
Hemm,, akhir-akhir ini ada yang menarik, ini tentang Tuhan. waduh.. sepertinya horor juga yah??. Tuhan?? kayak udah fasih saja, mengeja namanya saja masih kelu lidah ini. palah mau ngoceh tentang-Nya.
(Maafkan hambamu ini ya Allah, telah lancang semoga saja ada yang menegur jika pemikiran saya salah dengan petunjuk-Mu)
Tuhan-tuhan di tempatku tinggal seketika terjeruji dan lenyap, seperti yang dikatakan Nietzsche. Itu kenyataannya, bukan “Tuhan” yang sesungguhnya. Bukankah kita ini sekadar hamba Tuhan yang kalaupun punya kedudukan tinggi, tak kurang dan tak lebih hanyalah sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini? Jadi, tak layaklah kita melenyapkan Tuhan bahkan menuhan-nuhankan diri. Namun, kenyataannya?
Akhir-akhir ini banyak sekali orang yang tiba-tiba men-Tuhan-kan diri dan melenyapkan Tuhan dari perilaku keseharian. Kecuali mereka yang berpegang teguh pada Agama, karena Agama pastilah bermuara pada "Tuhan" (Allah). Seperti sungai, walau berbeda-beda madzhabnya pastilah bermuara pada satu lautan yaitu Allah. Jangan sampai masing-masing mengklaim diri yang paling benar dan dengan demikian berarti telah menuhankan diri.
Jangan sampai masing-masing mengklaim diri yang paling benar dan dengan demikian berarti telah menuhankan diri. Demikian pula kiai, ustad, dan kita masing-masing harus mengalir dan menyatu kembali dengan Tuhan sehingga sebenarnya apa pun perbedaannya pada dasarnya satu jua. Perbedaan akan selalu menjadi benih konflik jika ia tetap berhenti pada perbedaan itu sendiri tanpa mau menyatu kepada Tuhan.
Akan tetapi, menyatu bukan berarti lalu kita berhak menyatakan diri menjadi Tuhan lantaran menjadi tuhan saja pun tak boleh. Yang boleh dilakukan adalah mebenahi diri agar roh yang diberikan Allah dapat mencerminkan dimensi ketuhanan. Memang, semua gerak mereka harus menuhan atau menuju Tuhan dan melebur dalam identitas Tuhan (atau mungkin, secara kebahasaan, tepatnya identitas ke-Tuhan-an), tetapi jelas mereka tetap tidak dapat berubah menjadi Tuhan. Kalaupun misalnya dalam paham “wihdatul wujud” ada yang sampai berpengakuan “Annal-Haq” (Akulah Tuhan), sebagaimana yang (mungkin) terjadi pada Syech Siti Jenar, hal itu tetaplah mesti dipahami sebagai “keterbatasan pengakuan kebahasaan” atas “identitas ke-Tuhan-an” dirinya sebagai makhluk Tuhan.
Yang pasti, apa pun ungkapan yang terlontar dari proses menuhan atau me(n)-Tuhan itu, yang terpenting bukanlah ungkapannya, tetapi proses dan hasil penyatuannya yang kedua-duanya itu, gampangnya, kita “serahkan” saja kepada Tuhan lantaran semua ini menyangkut dimensi rohani (roh). Sebab, Tuhan sendirilah yang bilang bahwa perihal roh itu adalah urusan-Nya. Maka, kita tidak boleh hanya sibuk bertikai mengenai bahasa ungkap kerohanian atau ke-Tuhan-an, tetapi mestilah segera menyatu dalam hakikat kerohanian/ke-Tuhan-an itu.
Dalam bahasa yang lebih mudah, proses menuju/menyatu dengan Tuhan ini adalah apabila kita beribadah, baik mahdah maupun muamalah, hendaknya itu diniatkan hanya demi Tuhan alias mesti ikhlas karena Allah karena hanya itulah yang akan mengantarkan kita kepada-Nya
-labirin otak, 9 September 2012-
just dialektikaku, jika ada yang keliru mohon dikoreksi karena pengetahuanku masih terbatas ^^
Komentar
Posting Komentar