Langsung ke konten utama

Pledoi sebagai Mahasiswa!


Sudah lama aku tidak menghadap monitor, menyuntuki sebuah tulisan; entah itu karya fiksi, essai, review, ataupun sekadar catatan harian. Disaat-saat seperti ini aku mendapati diriku seperti seorang pelaut yang enggan singgah. Seorang pelaut yang terus menantang ombak dan malam, tak hendak menepi, melego jangkar, untuk kemudian melepas lelah pada surau di suatu pesisir sebuah kota yang entah. Aku kira, perlu juga untuk mencuci muka, melarutkan bau asin dan bau malam.

Laut tak berbatas sejenak aku tinggalkan dibelakang, bersama bau asin dan malam. Gelap dan tak terduga.
***


Hari ini hari selasa, 13 Desember 2012.

Ini hari pertamaku kembali ke kampus, kembali pada lembaran teks-teks yang dimuntahkan melalui mulut orang-orang tua yang berdiri di depan laptop dan papan tulis. Ini hari pertamaku setelah berlibur kembali pada rutinitas yang sangat terukur dan pasti. Dua hal yang paling aku benci dalam hidup ini, sekaligus membutuhkannya.


Seorang teman menghampiriku, menatap tubuhku dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Ia berkata, sudah banyak yang aku lewatkan dalam beberapa semester ini, tentu aku tahu maksudnya; beberapa mata kuliah aku acuhkan. Itulah yang dimaksud dengan ketertinggalan. Sampai disitu aku paham. Lalu ia melanjutkan dengan mengubah posisi percakapan, ia mempersilakan aku untuk duduk sejenak, menanti mulut-mulut yang akan memuntahkan teks-teks itu tiba.


Ia bercerita banyak hal yang terjadi di kampus. Beberapa teman seangkatan sudah mulai menghadapi makalah 30 halaman dengan 10 refrensi, itu artinya setengah dari kami akan lebih dulu meninggalkan ku untuk ujian lisan mata kuliah ini.


Diluar, pagi masih menghijau. Matahari sesekali menyapa tubuh-tubuh wangi yang berderet terduduk kaku dan mekanis.


Dosen tiba, daftar kehadiran diputar, mahasiswa mendengarkan, tak ada yangi bertanya, berdebat,atau menampik semua teorinya. Beberapa tertidur, memainkan telepon genggamnya, atau membicarakan pertandingan bola semalam ini adalah hal yang menarik bagi kaum adam. Aku masih juga belum mengerti apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka bawa ke ruangan ini. Sebab yang terdengar di telingaku hanyalah rentetan ucapan macam para petinggi negara. Tidak ada kontra-argumen, jadi aku memang tidak paham dimana letak perdebatannya. Aku sudah berusaha memperhalus pendengaranku, tetap saja yang ada hanya rengetan seperti suara kumbang. Ayolah, 5 menit pertama masih membuatku bertahan duduk mendengarkan dosen membacakan slide dari power pointnya tapi 10 menit kemudian ku mulai jumudd, dan sedikit ngantuk. Kurasa wajar jika ada mahasiswa tidur dikelas bukan salah mahasiswanya tapi juga salahkan dosennya yang membosankan itu juga.

Matahari semakin meninggi, beberapa mahasiswa yang sedari tadi tertidur, memainkan telepon genggamnya, membicarakan pertandingan bola, sudah mulai bosan karena jarum jam belum juga membebaskan tubuhnya. Sang dosen pun mulai banyak mengulang contoh yang sama, melewatkan banyak pembahasan, mulutnya sudah terlalu berbusa, teks-teks itu berhamburan di ruang kelas ber-AC ini, nama tokoh-tokoh dimuntahkan sebarangan, hingga akhirnya ia mengeluarkan sabda yang paling ditunggu-tunggu “Yaa, terimakasih untuk hari ini. Kita ketemu lagi minggu depan.”

Tak dinanya, bukan sulap bukan sihir semua orang yang diruangan itu yang nampak seperti bosan tiba-tiba wajahnya memerah sumringah.  Sampai disini, yang aku pahami dari kegiatan dikelas itu jangan salahkan Mahasiswa jika ia tidur dikelas, ngobrol sendiri atau memainkan telepon genggamnya jika cara Dosennya seperti itu. Bukankah keAbnormalan terjadi sebagai bentuk pemberontakan terhadap sistem yang terjadi.

Tapi bukan berarti Mahasiswanya terbebas dari dosa, ia juga berdosa mengapa ia tidak mempersiapkan materi yang akan disampaikan sebelumnya sehingga ia tak mampu mennyanggah atau sedikit berdebat. Padahal banyak sekali yang harus dikoreksi dari perkataannya. Ingin rasanya ku mempertanyakan apa yang ia keluarkan tapi sudah terlalu sering kumelakukan itu semua, menjadikanku malu sendiri!



Kelas bubar. Pikiran lenyap, teks-teks yang sedari tadi berhamburan itu menempel di dinding-dinding cuaca, untuk kemudian disapukan terik siang, lalu terbang bersama mega-mega ke negeri entah.


Ku luat awan hari itu, berharap pikiran yang sedari tadi dijejali ketidakmasukakalan ikut terbang, terbuang bersama awan putih. Bukan terbang saja, tapi kutoitipkan kepada awan, untuk kulihat apakah itu sesuatu yang benar atau justru kata-kata yang memukau tapi sesat?!


Sudah muak? Tenang, ambilah secangkir kopi, sebotol air putih, atau segelas es teh. Suka suka lah. Sebab ini baru pembukan sebuah pledoi ku. Ini akan jadi pembicaraan panjang. Sepanjang musim dan cuaca.

***

Awal semester 5 ini aku sudah mempersiapkan diri untuk masuk kedalam arus sungai. Tidak lagi memandang dari tepi jembatan. Tapi seorang teman mengingatkan, lebih baik duduk-duduk saja di pinggir sungai, menjuntaikan kaki untuk sesekali bermain dengan deras air. Jangan hanyut, jangan juga berjarak terlalu jauh.


Seorang teman lainnya berkata bahwa kritik terbaik itu adalah kritik yang datang dari dalam. Dari orang yang telah ‘selesai’ mencecap segala rasa di dalamnya. Ya, aku memang belum mencapai keputusan final tentang kedua tanggapan itu. Tapi sampai saat ini aku cukup menemukan konklusi yang ‘aman’. Aku memang tidak bisa menjadi ekstrimis, setidaknya aku sudah pernah mencoba. Paling tidak, dalam ukuranku aku sudah pernah mengalami bahkan melampauinya, menuju titik nadir sebuah keputusasaan.


Siapa yang tahan berlama-lama berada dalam kampus sementara dunia diluar sana menjanjikan banyak hal yang jauh lebih menarik. Siapa yang tahan mendengar celoteh mulut-mulut berbusa sementara diluar sana ia mendapat kesempatan belajar jauh lebih besar dari apa yang ia dapatkan di kampus. Siapa yang tahan menjalani suatu studi yang hanya mengajarkan teori, tapi tak konkret. Kata yang terakhir ini terinspirasi dari kakak yang merantau kepulau serbang. Dan nampaknya ia menyesal mengapa porsi tentang pendidikan lebih sedikit ia dapatkan sehingga sebatas membuat silabus, RPP maupun modul yang bagus ia tak mampu. Ah.. mungkin karena selama ini ia sangat tertarik dengan pulitik saja. Tapi ternyata benar! Porsi kependidikan di jurusanku tak lebih dari 30%. Selebihnya Hukum, Politik dan sedikit Filsafat.


Aku memang tidak merasa jenius, nilainya pun tak begitu bagus, tapi bagiku aku cukup pintar. Lagi-lagi perlu diingat; dalam ukuranku. Karena tidak ada yang membelaku kecuali diriku sendiri. Masuk jurusan ini bukanlah pilihan yang kusenangi. Aku juga tidak bisa menjamin kalau aku berada di jurusan yang aku inginkan, akan meraih ‘prestasi’ gemilang. Tapi setidaknya aku berani menjamin, aku tidak akan menyesal. Mari aku beri kalian sebuah pertanyaan. Akan lebih baik mana bila gagal oleh pilihan sendiri atau gagal karena dipilihkan oranglain? Setidaknya kalaupun aku gagal, tersungkur, jatuh, itu karena pilihanku. Tentu aku akan dengan lapang dada menerimanya, itu kegagalanku. Sebuah konsekuensi atas pilihan yang aku pilih. Kalau aku ‘berhasil’ pun akan lebih puas, sebab aku berhasil oleh pilihan dan kerja kerasku sendiri.

Untuk meyakinkan pilihanku Mari kita membuat hitung-hitungan sederhananya. Seorang teknisi komputer tak ada  yang menantang karena ia bersinggungan dengan benda mati. Sedangkan seorang guru, lebih tertantang masalah semakin rumit tidak hanya dengan siswanya yang juga menimbukan keruwetan. Tapi juga Pengurus sekolah dan pemerintah. inilah Pledoi untuk Kampus!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengangkatan Anak

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Manusia sudah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi terkadang semua itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak, sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian , penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga tersebut terancam putus atau punah.

Pahlawan tanpa Pangkat

Capung-capung melayang-layanng di udara  bak pesawat terbang, diiringi nyanyian jangkrik dan tarian kupu-kupu. Senja ini sungguh indah. Diantara hamparan padi yang menhijau itu masih terselip sepetak sawah yang ditanami kacang tanah, itu adalah sawah embah . Entah mengapa ketika orang-orang menanam padi simbahku palah memilih menanam kacang, yang sekarang sudah siap panen. “Mbah, kok beda sama yang lain?? Yang lain nanem padi kok mbah nanem kacang?” tanyaku “Owh, ini bekas nanem winih nduk,, buat nanem padi sawah lor,” jawab simbah sambil tersenyum Aku adalah orang desa. Ayahku seorang petani dan dari keluarga petani juga, sedangkan ibuku seorang pedagang yang berasal dari keluarga petani juga. Hampir seluruh masyarakat di daerahku bekerja sebagai petani, namun tak jarang pula yang menjadi pedagang dan PNS namun jumlahnya kecil sekali.  Namun aku bangga menjadi anak petani,bagiku petani adalah pahlawan. walau banyak orang memandang sebelah mata. Bagi mereka petani adal
Menyerah!