Bismillah
Semester Lima bagi kebanyakan orang,
semester ini adalah semseter paling membosankan. Tetapi berbeda denganku Semster
lima bagiku Istimewa dan sudah saatnya merapikan diri agar nampak pantas untuk
menyandangnya. Jalanku memang berbeda dengan orang kebanyakan, karena diriku memang
diriku. Awal masuk dan diterima menjadi mahasiswa UNY dengan jurusan PKnH
menjadi tekanan batin tersendiri bagiku. Mengapa tidak? Aku yang awalnya adalah
seorang siswa dengan jurusan IPA dan maling suka pelajaran KIMIA dengan
cita-cita menjadi Insinyur dibidang Kimia harus masuk jurusan PKnH yang
notabennya adalah anak sosial.
Menjadi mahasiswa dijurusan PKnH
adalah penjara, yang mengekang kehidupanku dulu. Hal inilah yang menjadikanku
mendapatkan nilai IP 3,09. Sesuatu yang setengah hati memang hasilnya tidak
maksimal. Dan ini masih membekas hingga semester 2 yang hanya mampu memperoleh
IP sebesar 3,34.
Awal semseter tiga, menjadikanku
giat menuju perpus mencari Ilmu mengejar teman-temanku yang sudah melesat jauh
dariku. Tempat terfaforit bagiku adalah lantai tiga sebelah barat, sembari memuutar
lagu favoritku ku buka lembar demi lembar buku. Dari buku politik hingga
Filsafat. Dan disanalah awal mula ku belajar tentang filsafat memang tidak
banyak yang kupelajari karena memang bahasanya yang tinggi. Karena saking
tingginya tidak cukup satukali baca namun aku harus mengulangnya hingga dua
kali. Entah aku yang terlalu bodoh akupun tak tahu.
Membaca buku filsafat menjadikanku
lebih mengutamakan hati dan rasio dalam bertindak begitupula dengan kuliah.
Semseter tiga adalah puncak “kegalauan” akademik bagiku, karena bagiku kuliah
itu tidak penting jika niat kita hanya belajar tanpa kita harus kuliah dan
mendengarkan dosen ceramah cukup membaca buku diperpus kita juga bisa kok
pinter dan dapet ilmunya. Dan inilah yang menyebabkanku lebih suka semedi dan
membaca buku diperpus dari pada kuliah. Hingga kuliah sering bolos, apalagi
kalo dosennya ngantukkin.
Namun setelahku beranjak menuju
semster Lima, ketika kakak bilang “Hidup itu harus realistis walau terkadang
pragmatis, karena itu memang realitasnya” anda pasti bingung, tapi bagiku itu
pernyataan yang menohok sekali. Ibu juga sering bilang “Dek.. Ilmu iku tentu,
tapi ben kowe dipandeng karo wong liya lan dirongokkake kudu nduweni status,
nek ko ra nduwe status mbokan kowe pinterre kaya ngopo langka sing ngerongok
ake, iki indonesia dudu “surga”,” Mulai saat itulah aku bangkit dan merapikan
hati dan otak yang berantakkan karena kegalauan.
Ibarat kata habis galau terbitlah
terang. hehehe ^^
Djogja, 28 September 2012
Yekti Ambarwati
Yekti Ambarwati
Komentar
Posting Komentar