Bismillah..
entah mengapa, tiba-tiba aliran darah dalam otak mengalir kencang, jantung berdegub kencang bak drum alunan musik rock. Setelah ku membuat tulisan yang sebenarnya mengejanya pun belum fasih, dengan “sarunya” ku membicarakannya. Tiba-tiba ada satu hal lagi yang mengganjal otakku ketika ku buka buku “Political Theory”. Buku yang harus ku lahap habis dalam waktu 2 minggu.
entah mengapa, tiba-tiba aliran darah dalam otak mengalir kencang, jantung berdegub kencang bak drum alunan musik rock. Setelah ku membuat tulisan yang sebenarnya mengejanya pun belum fasih, dengan “sarunya” ku membicarakannya. Tiba-tiba ada satu hal lagi yang mengganjal otakku ketika ku buka buku “Political Theory”. Buku yang harus ku lahap habis dalam waktu 2 minggu.
Seringkali ku tepuk jhidat, ketika
melihat buku itu, bukan karena ku tak sanggup membacanya. Hanya saja mengkaji
Al-Qur’an dan Hadist saja belum jua tamat. Tapi ilmu dunia seringkali
menuntutku untuk menyelesaikannya.
Kita tahu, ilmu-ilmu dunia berkembang dari
sebuah kajian yang bernama “Filsafat” hingga filsafat dijuluki dengan sebutan
bapaknya ilmu oleh sebagian filusuf. Terserah, bagiku semua ilmu dunia sudah
terangkum dalam satu refrensi besar yaitu “Al-Qur’an”. Namun, entah mengapa
kita termasuk saya seringkali lebih bangga ketika kita mengambil dalil-dalil
orang Barat dibandingkan dalil dalam Al-Qur’an.
Tapi maaf saudara, tulisan kali ini
tidak akan membahas tentang Filsafat barat dan Al-Qur’an karena saya takut
berdialektika tentang hal itu. Takut kebelinger tepatnya. Saya hanya
membandingkan Orang barat dengan tanah kelahiranku “Jawa”. Ada yang menarik
perhatianku ketika membandingkan keduanya Berbeda
dengan filsafat Barat, yang berakar dari filsafat Yunani (Socrates dkk.), jika dalam filsafat barat kita akan
diajak untuk mencari unus terkecil dalam suatu subyek, maka dalam filsafat jawa
berbeda. Karena bagi orang jawa semua adalah perkara pekerjaan.
Bukan tugas manusia memikirkannya. Jika plato memikirkan
tentang bagaimana timbulnya suatu negara dan politik maka orang jawa tidak
perlu memikirkan bagaimana menjadi sebuah negara dan bagaimana ada politik
namun cukup bagaimana menjadi cukup bagaimana menjadi seorang pemimpin yang
baik, agara negaranya aman, tentran dan bahagia.
Filsafat jawa membicarakan hal-hal yang lebih sederhana dan
mendalam. Orang
Jawa tidak mau pusing-pusing memikirkan apakah bumi berbentuk bulat ataukah
lonjong, tapi yang penting adalah bagaimana manusia menjaga keselarasan
(harmoni) dengan alam semesta, dan terlebih lagi dengan sesamanya: ‘uripku aja
nganti duwe mungsuh’ inilah yang senantiasa ditekankankan oleh Simbah kakungku
saat sowan ketempatnya.
Filsafat Jawa mengajarkan kehidupan yang
sederhana, dan menginsyafi bahwa harta benda tidaklah memberikan kebahagiaan
yang hakiki: ‘sugih durung karuan seneng, ora duwe durung karuan susah’. Meski
demikian manusia harus bekerja: ‘urip kudu nyambut gawe’, dan mengetahui
kedudukannya di dalam tatanan masyarakat. Manusia Jawa percaya bahwa setiap orang
memiliki tempatnya sendiri-sendiri: ‘pipi padha pipi, bokong padha bokong’
seperti celotehan si mbah phitruk salah satu tokoh dalam punokawan. Kebijaksanaan
kuno ini bahkan selaras dengan ilmu manajemen modern yang mengajarkan bahwa
setiap individu harus memilih profesi yang cocok dengan karakternya. Setelah
menemukan bidang profesi yang cocok, hendaknya kita fokus pada bidang tersebut,
sebab jika kita tidak fokus akhirnya tak satupun pekerjaan yang terselesaikan:
‘Urip iku pindha wong njajan. Kabeh ora bisa dipangan. Miliha sing bisa
kepangan.’
-labirin otak, 9 September 2012-
karena hanya sebuah dalektika, bisa saja keliru karena saya bukanlah Tuhan yang Maha Benar ^^
Jika ada yang salah mohon diluruskan :D
karena hanya sebuah dalektika, bisa saja keliru karena saya bukanlah Tuhan yang Maha Benar ^^
Jika ada yang salah mohon diluruskan :D
Komentar
Posting Komentar