Langsung ke konten utama

Kendala dalam Penegakan Etika Jurnalistik

Kita harus mengakui bahwa sejak awal Reformasi ada kendala yang dihadapi dalam menegakkan kode etik jurnalistik pada umumnya. Yang salah dalam hal ini bukan kode etiknya dan juga wartawan secara keseluruhan, melainkan dinamika pers itu sendirilah seiring dengan kebijakan politik pemerintah Presiden B. J. Habibie pada pertengahan tahun 1998. Dengan kata lain, diakui atau tidak bahwa kendala yang dihadapi dalam menegakkan etika jurnalistik beberapa tahun terakhir tidak terlepas dari berbagai perubahan yang terjadi dengan bergulirnya Reformasi, termasuk di bidang pers.

Secara khusus dapat dicatat bahwa Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah pada pertengahan tahun 1998 secara drastis membuka lebar-lebar koridor kebebasan pers melalui sejumlah regulasi baru di bidang pers.

Pada 6 Juni 1998, misalnya, ia mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan yang mencabut dan mengubah Permenpen No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kalau semula Permenpen No. 1 Tahun 1998 tersebut menetapkan 16 syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat SIUPP, maka Menteri Yunus Yosfiah menyederhanakannya dengan hanya tiga syarat. Prosesnya pun sangat singkat, dalam dua atau tiga hari kalau ketiga syarat telah terpenuhi, SIUPP telah dikeluarkan. Selain menyederhanakan prosedurnya, ketentuan SIUPP yang baru itu pun tidak lagi mengenal pembatalan SIUPP oleh pemerintah.


Tidak heran bila dengan kebijakan baru ini sebanyak 1.881 SIUPP dikeluarkan dalam tenggang waktu dua atau tiga bulan, dibanding hanya 276 SIUPP selama Orde Baru. Tetapi, dalam beberapa bulan kemudian, perusahaan penerbitan pers yang banyak itu satu demi satu berguguran, dan menurut pendataan Dewan Pers hanya ada 566 SIUPP yang masih digunakan pada tahun 2001. Dari jumlah itu pun, menurut penelitian Serikat Penerbit Suratkabar, hanya sekira 30 persen yang tergolong sehat, dan sisanya masih menghadapi berbagai kendala.

Namun, yang menarik untuk dicatat ialah bahwa Menteri Yunus Yosfiah tidak hanya menyederhanakan perolehan SIUPP, di samping tidak ada lagi pembatalan SIUPP, tetapi juga mengeluarkan kebijakan baru menyangkut organisasi profesi. Antara lain ia mencabut Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 47 Tahun 1975 yang menetapkan Persatuan Wartawan Indonesia sebagai satu-satunya organisasi bagi wartawan di Indonesia yang diakui oleh pemerintah. Dengan dicabutnya SK Menpen No. 47 Tahun 1975 itu, maka dengan sendirinya dipertanyakan validitas SK Menpen No. 48 Tahun 1975 yang menetapkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ PWI) sebagai satu-satunya kode etik yang berlaku bagi wartawan di Indonesia.

Dengan kebijakan Menteri Penerangan yang tergolong reformis ini, maka bermunculanlah berbagai organisasi wartawan. Menurut catatan Dewan Pers, pada tahun 2006 ada sekira 50 organisasi wartawan di Indonesia. Keberadaan organisasi wartawan yang demikian banyak tidak terdata dengan jelas karena tidak ada ketentuan yang menjadi acuan untuk membentuk organisasi. Juga tidak ada kewajiban untuk memberitahukan pembentukan organisasi wartawan kepada Dewan Pers.

Sebenarnya, setiap organisasi profesi, termasuk organisasi wartawan, dengan sendirinya memiliki kode etik. Selain itu, seharusnya ada institusi atau lembaga yang bertugas mengawasi serta memutuskan dan menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik itu.

Di sinilah masalahnya karena tidak ada institusi atau badan secara nasional yang dibentuk oleh komunitas pers itu sendiri yang diberi wewenang untuk meneliti, seberapa jauh masing-masing organisasi wartawan yang banyak itu telah memiliki kode etik serta perangkat kelengkapan organisasi untuk mengawasi dan menegakkan kode etiknya. Lebih-lebih karena kode etik tersebut bersifat personal dan otonom, maka mutlak diperlukan adanya alat kelengkapan organisasi untuk mengawasi dan menegakkan kode etik masing-masing organisasi wartawan.

Perkembangan organisasi profesi yang demikian inilah yang mendorong gagasan perlunya dibentuk kode etik jurnalistik yang berlaku bagi setiap wartawan---pada organisasi mana pun ia bergabung atau juga yang sama sekali tidak bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang ada. Gagasan ini selanjutnya pada awal tahun 1999 dirundingkan oleh para pengelola dan pengamat media pers dengan Drs. Jakob Oetama, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Pelaksana Harian Dewan Pers.
Dalam sidang pleno Dewan Pers bulan Maret 1999 di Bandung disepakati untuk membentuk kode etik jurnalistik yang berlaku secara nasional. Pada pertemuan yang sama juga sekaligus dibentuk tim yang dipercayakan kepada saya untuk menjadi ketua tim tersebut.

Setelah melakukan serangkaian pertemuan di Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta yang difasilitasi oleh Dewan Pers, akhirnya di Bandung, pada 6 Agustus 1999, 26 organisasi wartawan menyepakati kode etik yang kemudian dinamakan Kode Etik Wartawan Indonesia, disingkat KEWI. Selanjutnya pada 1 September 1999 disepakati penafsiran butir-butir kode etik tersebut. Tetapi, dengan catatan, organisasi wartawan yang menandatangani KEWI juga menyepakati bahwa kode etik masing-masing organisasi wartawan yang ada tetap berlaku secara internal. Dengan kata lain, sekalipun telah ada KEWI, KEJ PWI tetap berlaku bagi wartawan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.

Jadi, sebenarnya KEWI dibuat untuk menjawab pertanyaan, kode etik manakah yang berlaku bagi wartawan yang tidak tergabung dalam salah satu organisasi wartawan yang ada. Sebab, dengan bergulirnya Reformasi yang memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk mendirikan organisasi wartawan yang dikehendaki, maka wartawan bebas untuk tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi tersebut. Dengan kenyataan ini, maka timbul pertanyaan, kode etik mana yang berlaku baginya. Untuk menjawab pertanyaan inilah maka perlu dibuat kode etik jurnalistik yang berlaku bagi setiap wartawan, sekalipun ia tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan yang ada.

Memang, pembentukan KEWI merupakan antisipasi sebagai konsekuensi dari deregulasi di bidang pers sejak awal gerakan Reformasi. Perlu dicatat bahwa KEWI sudah lebih dulu ada sebelum lahir Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. KEWI disepakati pada 6 Agustus 1999, sedangkan UU No. 40 Tahun 1999 diundangkan pada 23 September 1999. Keberadaan KEWI menjadi sangat relevan dan aktual karena Pasal 7 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 mengatakan bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Ketentuan ini kemudian diinterpretasikan bahwa wartawan pun bebas untuk tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan yang ada.

Kalau memang demikian halnya, maka dipertanyakan, kode etik mana yang berlaku bagi wartawan yang tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan. Tetapi, dengan adanya KEWI, maka pertanyaan seperti itu tidak relevan lagi karena sudah ada kode etik yang berlaku bagi semua wartawan di negeri ini.

Apakah ada jaminan bahwa ketentuan atau prinsip-prinsip dalam KEWI tidak bertentangan dengan kode etik masing-masing organisasi profesi, terutama dengan KEJ PWI? Jawabannya: tidak bertentangan; karena sewaktu merumuskan KEWI kemungkinan itu sudah dipikirkan dan dipertimbangkan berdasarkan pemahaman bahwa kode etik sebenarnya bersifat universal. Artinya, prinsip-prinsip kode etik jurnalistik di suatu negara juga berlaku di negara lain. Demikian juga prinsip-prinsip kode etik jurnalistik media pers cetak dapat berlaku bagi media siaran, dengan kemungkinan di sana-sini ada penyesuaian sesuai dengan karakteristik media.

Namun, dengan adanya KEWI, yang pemberlakuannya ditetapkan melalui Surat Keputusan Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000, tidak berarti persoalannya selesai. Sebab, masalah yang timbul kemudian ialah, siapa atau institusi mana yang akan menegakkan KEWI. Sebagai contoh, apabila ada pihak yang mengadukan telah terjadi pelanggaran atas KEWI, instansi mana yang memutuskan bahwa memang telah terjadi pelanggaran dan kemudian yang memutuskan pula sanksi atas pelanggaran itu.

Menghadapi persoalan ini ada yang berpendapat bahwa instansi yang berwenang memutuskan telah terjadi pelanggaran KEWI dan yang menetapkan sanksi atas pelanggaran itu adalah Dewan Pers sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999. Namun, apabila kita meneliti fungsi Dewan Pers menurut UU No. 40 Tahun 1999, maka UU itu tidak memberi wewenang kepada Dewan Pers untuk melakukan fungsi memutuskan dan menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik. Sebab, Pasal 15 Ayat (2) Huruf c UU No. 40 Tahun 1999 hanya mengatakan bahwa Dewan Pers berfungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.

Dengan rumusan seperti itu jelas sekali bahwa Dewan Pers bukan instansi yang berwenang untuk memutuskan dan menetapkan sanksi atas pelanggaran KEWI. Lantas, siapa atau instansi mana yang berwenang memutuskan ada tidaknya pelanggaran KEWI dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran itu? Jawabannya tidak lain adalah masing-masing organisasi wartawan, dalam hal ini oleh Dewan Kehormatan. Jadi, bukan oleh Dewan Pers.

Alasannya ialah karena kode etik jurnalistik bersifat personal dan otonom. Dikatakan bersifat personal karena kode etik dibuat oleh, dari, dan untuk wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi profesi dan kemudian berikrar untuk melaksanakannya. Karena kode etik dibuat oleh, dari, dan untuk wartawan dan kemudian berikrar untuk melaksanakannya, maka penaatannya pun bergantung sepenuhnya pada masing-masing anggota. Itulah sebabnya maka dalam KEJ PWI ditegaskan bahwa penaatan kode etik terutama berada pada hati nurani masing-masing anggota. Kode etik yang bersifat personal ini jugalah yang menjadi kekuatan dari kode etik itu sendiri.

Konsekuensi dari kode etik yang bersifat personal itu tidak lain ialah bahwa kode etik pun bersifat otonom. Mengapa bersifat otonom? Karena kode etik dibuat oleh, dari, dan untuk wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi profesi dan kemudian berikrar untuk menaati dan melaksanakannya, maka dengan sendirinya bahwa pengawasan, penghakiman, dan penetapan sanksi atas pelanggarannya juga sepenuhnya menjadi wewenang organisasi PWI, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI seperti ditetapkan dalam Pasal 17 KEJ PWI.

Prinsip kode etik yang bersifat personal dan otonom inilah yang menjadi dasar untuk menolak Dewan Pers sebagai lembaga yang memutuskan, menghakimi. dan menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik. Sebab--sekali lagi saya ingatkan--bahwa KEWI bukan dibuat oleh Dewan Pers, melainkan disusun dan dirumuskan sendiri oleh 26 organisasi profesi pada tahun 1999. Jadi, KEWI sepenuhnya milik organisasi wartawan, bukan milik Dewan Pers, sehingga tentunya Dewan Pers tidak berwenang memutuskan, menghakimi, dan menetapkan sanksi atas pelanggarannya. Itulah sebabnya makla amar putusan Dewan Pers dibuat secara hati-hati supaya tidak melanggar prinsip personal dan otonom tadi dengan menggunakan perkataan "menetapkan", bukan "mengesahkan"--yang berkonotasi dibuat oleh instansi atau lembaga lain. Lagi pula, menurut UU Pers, fungsi Dewan Pers berkenaan dengan kode etik jurnalistik hanya "mengawasi". "Mengawasi" tidak sama dengan "memutuskan" atau "mengadili" serta "menetapkan sanksi".

Apabila kewenangan untuk memutuskan, mengadili, dan menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik ini diserahkan kepada badan lain--dalam hal ini Dewan Pers, misalnya--apakah perhimpunan wartawan masih pantas disebut sebagai organisasi profesi? Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan profesi ialah pekerjaan tetap yang memiliki unsur-unsur himpunan pengetahuan dasar yang bersifat khusus, keterampilan untuk menerapkannya, tata cara pengujian yang objektif, dan kode etik serta lembaga pengawasan dan pelaksanaan penaatannya.

Jadi, kalau kewenangan mengadili dan menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik sebagai landasan profesi diserahkan kepada instansi lain, itu berarti organisasi tersebut tidak berhak lagi mengklaim dirinya sebagai organisasi profesi. Oleh karena itu, sudah tepat ketentuan yang menyatakan bahwa penegakan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik sepenuhnya menjadi wewenang organisasi.

Berkenaan dengan prinsip bahwa kode etik bersifat personal dan otonom di satu sisi, dan dikaitkan dengan masalah penegakan KEWI di sisi lain, maka pertanyaan yang timbul kemudian ialah: siapa atau instansi dan institusi manakah yang menegakkan, memutuskan, mengadili, dan menetapkan sanksi atas pelanggaran KEWI? Ada yang mengatakan bahwa kewenangan itu ada di tangan Dewan Pers. Tetapi, kalau kita berpijak pada prinsip personal dan otonom tadi, maka tidak ada kewenangan Dewan Pers untuk melaksanakannya karena KEWI tidak disusun, dirumuskan, dan dibuat oleh Dewan Pers sehingga kode etik itu bukan milik Dewan Pers. Karena bukan milik Dewan Pers, maka dengan sendirinya tidak ada kewenangan institusi itu untuk memutuskan, mengadili, dan menetapkan sanksi atas pelanggaran KEWI.

Apa gunanya KEWI? KEWI sebagai "payung" kode etik secara nasional diterapkan terhadap wartawan yang tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan, atau diterapkan oleh organisasi wartawan yang belum memiliki alat kelengkapan yang terstruktur rapi.

Permasalahan yang timbul lebih lanjut ialah: instansi atau institusi mana yang menegakkan KEWI?. Apakah Dewan Pers? Tunggu dulu! Sebab, seperti dikemukakan tadi, KEWI bukan dibuat oleh Dewan Pers dan karena itu bukan milik lembaga tersebut. Yang menyusun, merumuskan, dan membuat KEWI adalah 26 organisasi wartawan sehingga yang menegakkannya adalah masing-masing organisasi profesi.

Bagaimana kalau yang melanggar KEWI wartawan yang tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan yang ada? Apakah itu menjadi wewenang Dewan Pers? Belum tentu, sebab menurut UU Pers, Dewan Pers hanya mengawasi pelaksanaan kode etik. UU Pers tidak secara eksplisit memberi wewenang kepada Dewan Pers untuk memutuskan, mengadili, dan menetapkan sanksi atas pelanggaran KEWI. Lagi pula, kalau akan menetapkan sanksi, selain dasar hukumnya tidak ada, jenis hukuman yang akan dijatuhkan pun belum ada pengaturannya. Lain dengan PWI karena dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI dengan jelas dicantumkan jenis hukuman yang dapat dijatuhkan apabila seorang anggota melanggar KEJ PWI, yaitu berupa peringatan biasa, peringatan keras, dan skorsing keanggotaan maksimal dua tahun.

Mengingat bahwa UU Pers tidak memberi wewenang kepada Dewan Pers untuk memutuskan, mengadili, dan menetapkan sanksi atas pelanggaran KEWI, melainkan sekadar mengawasi, sementara masyarakat menuntut supaya Dewan Pers lebih proaktif menegakkan kode etik, maka perlu diciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga Dewan Pers dapat secara maksimal menjalankan fungsi pengawasannya. Mekanisme itu dituangkan dalam Surat Keputusan Dewan Pers No. 6/SK/DP/2000 tentang Standar Operasional dalam Memberikan Penilaian dan Rekomendasi Menyangkut Pelanggaran Kode Etik dan Penyalahgunaan Profesi dan Kemerdekaan Pers. Ketetapan itu diumumkan pada 20 Juni 2000.

Menurut standar operasional itu, analisis tentang kasus kesalahan atau pelanggaran etika meliputi: informasi tidak akurat, informasi tanpa klarifikasi atau konfirmasi (berarti informasi sepihak), informasi didapat dengan cara tidak etis, informasi yang sumbernya tidak kredibel, informasi tidak jelas sumbernya (rumor), informasi bersifat opini yang menyesatkan, informasi bersifat menghakimi (trial by the press), informasi bersifat mencemarkan nama baik, dan informasi bersifat tuduhan palsu (fitnah).

Bagaimana jenis atau bentuk Rekomendasi Penilaian yang dapat dikeluarkan Dewan Pers? Bergantung pada besar dan kecilnya dampak yang ditimbulkan oleh pemuatan berita, tulisan, gambar, karikatur, dan lain-lain. Jenis-jenis Rekomendasi Penilaian tersebut sebagai berikut:
- Pernyataan agar pers melakukan koreksi dan atau ralat atas informasi yang telah disebarkan.
- Pernyataan agar pers memuat Hak Jawab yang proporsional.
- Pernyataan agar pers menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
- Pernyataan berupa rekomendasi agar organisasi wartawan atau perusahaan pers memberikan sanksi (teguran keras, skors, sampai pemecatan) kepada wartawan yang terbukti telah melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik.
- Jika rekomendasi Dewan Pers sama sekali tidak dipenuhi oleh perusahaan pers atau organisasi wartawan yang bersangkutan, maka Dewan Pers mengeluarkan pernyataan terbuka khusus untuk itu.
- Surat pernyataan penilaian dan atau rekomendasi Dewan Pers ditujukan kepada perusahaan dan atau redaksi media atau organisasi wartawan dan dapat disebarkan kepada publik.

Demikian jenis-jenis rekomendasi yang dapat dikeluarkan oleh Dewan Pers. Dan, rekomendasi itu tidak ditujukan kepada anggota organisasi wartawan yang bersangkutan, melainkan kepada perusahaan pers dan atau pemimpin redaksi media. Dengan kata lain, ditujukan kepada lembaga, bukan kepada individu anggota organisasi wartawan karena masalah keanggotaan sepenuhnya menjadi wewenang dan urusan organisasi profesi yang bersangkutan. Dan, hal ini sudah sesuai dengan ketentuan UU Pers karena yang menjadi konstituen Dewan Pers adalah organisasi profesi dan organisasi perusahaan pers. Individu wartawan bukanlah anggota Dewan Pers.

Namun, masih tetap menjadi persoalan, siapa atau instansi mana yang harus menindak wartawan yang berada di luar organisasi wartawan yang ada kalau diadukan telah melanggar KEWI. Jika wartawan yang bersangkutan menjadi karyawan perusahaan pers, tetapi tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan, maka rekomendasi Dewan Pers dapat diterapkan terhadapnya, yaitu melalui lembaganya, yaitu perusaan pers. Tetapi, bagaimana jika wartawan tersebut seorang freelancer, tidak terikat kepada salah satu perusahaan pers dan tidak pula bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan, sedangkan Dewan Pers bukanlah institusi yang berfungsi mengadili dan menghukum individu wartawan? Ini menjadi pertanyaan, yang sampai sekarang belum ada jawabannya, di samping belum ada "yurisprudensi" mengenai hal itu.

Hal inilah antara lain yang menjadi kendala bagi penegakan etika jurnalistik. Oleh karena itu, ada pemikiran yang mengatakan bahwa Dewan Pers perlu diberi penguatan. Salah satunya adalah berupa kewenangan Dewan Pers untuk memberi penilaian atas pelaksanaan KEWI dan ditujukan kepada perusahaan pers. (Sejak awal 2006 KEWI berganti dengan KEJ, yaitu Kode Etik Jurnalistik yang lebih lengkap, sebanyak 11 pasal dibandingkan dengan KEWI yang terdiri atas 7 pasal).

RH Siregar (almarhum) adalah mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengangkatan Anak

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Manusia sudah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi terkadang semua itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak, sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian , penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga tersebut terancam putus atau punah.

Pahlawan tanpa Pangkat

Capung-capung melayang-layanng di udara  bak pesawat terbang, diiringi nyanyian jangkrik dan tarian kupu-kupu. Senja ini sungguh indah. Diantara hamparan padi yang menhijau itu masih terselip sepetak sawah yang ditanami kacang tanah, itu adalah sawah embah . Entah mengapa ketika orang-orang menanam padi simbahku palah memilih menanam kacang, yang sekarang sudah siap panen. “Mbah, kok beda sama yang lain?? Yang lain nanem padi kok mbah nanem kacang?” tanyaku “Owh, ini bekas nanem winih nduk,, buat nanem padi sawah lor,” jawab simbah sambil tersenyum Aku adalah orang desa. Ayahku seorang petani dan dari keluarga petani juga, sedangkan ibuku seorang pedagang yang berasal dari keluarga petani juga. Hampir seluruh masyarakat di daerahku bekerja sebagai petani, namun tak jarang pula yang menjadi pedagang dan PNS namun jumlahnya kecil sekali.  Namun aku bangga menjadi anak petani,bagiku petani adalah pahlawan. walau banyak orang memandang sebelah mata. Bagi mereka petani adal
Menyerah!