Langsung ke konten utama

Sisi lain Pasar Tradisional


Bismillah…

Sisi lain dari Pasar Tradisional
Jalan-jalan dikawasan itu becek. Bila turun hujan adonan tanah dengan air berubah menjadi tak ubahnya bubur kental berwarna coklat bercampur kerikil. Bila demikian, tanah-tanhanya tak mempunyai toleransi untuk digilas roda mobil, motor apa lagi diinjak kaki manusia. Tak heran manusia dan kendaraan yang melewati mencoba menghindar dari bubur kental coklat itu. Daerah yang dekil, terbelakang dan Bising!!
Di sisi-sisi jalan sekitar itu terdapat orang-orang baik wanita atau laki-laki menjajakan barang bawaannya. Jika sudah pukul 7.00 pagi ketika orang-orang keluar dari persembunyiannya, tuk mennyambut indahnya matahari dipagi hari dengan segudang kegiatan yang melelahkan pikiran dan urat-urat tubuh, di jalan ini pasti terjadi kemacetan. Ketika orang-orang dewasa pergi mencari nafkah, anak-anak pergi menuntut ilmu dan para ibu pergi ke pasar membeli segala kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Rumahku berjarak 100 m dari pasar. Setiap hari aku harus mengayuh sepedah melewati pasar menuju sekolah. Namun sekarang berbeda, aku sekarang tidak berada di kota kelahiranku. Aku pergi jauh merantau ke kota orang. Yogyakarta, kota pendidikan, kota pilihanku menimba beribu ilmu dan pengalaman.
150 m dari tempatku menuntut ilmu kini terdapat sebuah pasar. Pasar itu adalah “Demangan”. Pasar yang berada di persimpangan jalan gejayan.  Hampir setiap hari tempat ini tidak pernah sepi dari lalu lalang kendaraan dan orang-orang, baik tua, muda hingga anak-anak yang hanya sekedar ikut ibunya kepasar.
Hampir sepekan sekali aku bersama Mba Khanif dan Mba Alfa pergi kepasar untuk membeli makan dan jajanan pasar, maklum anak kos…!!
Untuk menemukan pasar tradisional di kota besar seperti Yogyakarta ini sangatlah susah, yang ada hanyalah Supermarket, minimarket dan Mall bertingkat yang berjajar rapi sepanjang jalan kota bak diagram batang yag biasa digunakan oleh petugas statistik…
Supermarket, minimarket atau Mall, karena tempat-tempat seperti itu menyajikan makanan-makanan dan deretan etalasenya.
Tempatnya yang lebih bersih, nyaman, lengkap dan syarat akan penggambaran kehidupan yang modern menjadi daya tertarik sendiri. Terlebih lagi dengan deretan pilihan makanan di dalam lemari-lemari kaca yang tersusun rapi dan aman bahkan seekor lalatpun tak akan mampu menghinggap.  Berbeda dengan pasar, kehidupan yang kumuh, dekil, kotor, bising dan terbelakang.
Namun bagiku dibalik kehidupan pasar yang identik dengan kumuh, dekil, kotor, bising dan terbelakang ada hal yang lain kutemukan. Hal yang tidak orang kota fikirkan. “Aku tak sepicik orang-orang kota melihat sebuah pasar..” uajarku dalam lubuk hati, yang sering bergejolak ketika melihat orang-orang kota menggilas pasar tradisional dan menggantikanya dengan pasar modern.
Masa kecilku hingga remaja yang tidak jauh dari kehidupan pasar tradisional membuatku memiliki pandangan yang berbeda dari orang kebanyakan dikota. Terlebih lagi Ibuku kebetulan adalah seorang pedagang emping di pasar tradisional menambah kepahamanku akan kehidupan pasar tradisional.
Di kehidupan pasar tradosional tidak sebatas melakukan jual beli namun ada hal lain yang berbeda, bahkan jarang kita dapatkan di pasar modern. Bagaimana tidak??  Di pasar tradisional baik antar penjual dengan penjual, penjual dengan pembeli, pembeli dengan pembeli saling berinteraksi walau hanya sekedar menyapa“Hai mbok, piwe kabare??” salah satu kata yang sering terdengar di pasar-pasar tradisional khususnya untuk darah Jawa, ngerumpi bahkan sharing pengalaman pribadinya.Hal tersebut timbul, karena kultur yang dibangun di pasar di pasar adalah kultur kekeluargaan.
Aku ingat dulu ketika hari libur sekolah diajak ibu untuk berjualan emping di pasar “Temenggungan”, salah satu pasar terbesar di daerahku. Ketika itu tiba-tiba ibuku sakit pinsan mukanya pucat pasi. Orang-orang berlarian dan mengrubungi Ibuku dan aku yang duduk disampingnya sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencoba untuk membangunkan tubuh besarnya yang tergeletak lemah tak berdaya.
Ibuku di gotong oleh tiga orang pria dewasa menuju kesebuah kursi panjang di dekat warung makan. Karena usiaku yang masih kecil aku hanya bingung dan cemas tak tahu apa yang harus diperbuat untuk menolong ibuku.
 Tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang tak kukenal bertanya “Kenapa ibumu??? Belum makan? atau sedang sakit??” dengan membawa secangkir teh hangat.
Aku hanya menggeleng dan menatap penuh ketakutan dan kebingungan  kepada wanita dihadapanku, wanita yang usianya sepadan dengan ibuku.
Sembari mengoleskan minyak berwarna kehijauan yang mengeluakan bau khas di kepala dan sesekali menempelkan jari tangannya ke hidung ibuku, wanita itu bertanya kembali “Bapakmu kemana? Kok nggak ikut.” wanita itu menatapku dengan senyum lebar dan ramah mencoba mengisyaratkan bahwa dirinya tidak jahat.
Lagi-lagi aku hanya menggelen, sembari mengapit dan memasukan bibir bawahku dengan gigi atasku ke dalam mulut.
 Tak lama kemudian ada seorang ibu-ibu yang lebih tua dari ibuku dan ibu-ibu yang pertama datang.
“Gimana, Kas? Udah ada perkembangan Rom?” ujar wanita tua itu sembari mengunyah tembakau yang terbuntal daun sirih dan dilumati dengan enjet.
“Empinge Rom gimana?? Ditawarin aja ke orang pa?? dari pada disini nggak kejual.” Ujar wanita tua itu.
“Ya kena, yuu…” tanggap Bu kas, yang masih mengolesi minyak angin ke tubuh ibuku, sambil memberikan pijatan-pijatan di kaki dan tangan ibuku.
Begitu banyaknya hal yang dapat ku dapatkan dari kehidupan pasar tradisional membuatku nyaman berbelanja di pasar. Tak hanya itu mengunjungi pasar dapat mengobati rasa rinduku pada kampung halaman dan ibuku. Itulah yang menyebabkanku selalu menyempatkan pergi kepasar walau hanya sekedar membeli gethuk, makanan khas jawa tengah yang terbuat dari singkong rebus yang di gemplong.
Wallahu’alam

-di ruang dealektikaku dengan keterbatasan pengetahuan dan kegalauan-
Djogja, 27 November 2011

Komentar

  1. Berbagi KIsah, Informasi dan Foto

    Tentang Indahnya INDONESIA

    www.jelajah-nesia.blogspot.com

    BalasHapus
  2. iya sebenarnya pasar tradisional sangat menarik dan lebih murah,,, tp banyak orang yang memilih ke minimarket atau supermarket...

    http://karimalamin.blogspot.com/2012/02/pasar-tradisional-dan-mini-market.html

    BalasHapus
  3. bagus postnya. berdasarkan keadaan yang sebenarnya memang terjadi.
    mampir ya :) http://catatandikaputra.blogspot.com/

    BalasHapus
  4. @Mochammad Karim Al Amin::
    hemmmm.. itu menjadi pelajaran kita, tentang mempertahankan kearifan lokal

    BalasHapus
  5. Dika Putera

    terimakasih :)
    Insya Allah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pahlawan tanpa Pangkat

Capung-capung melayang-layanng di udara  bak pesawat terbang, diiringi nyanyian jangkrik dan tarian kupu-kupu. Senja ini sungguh indah. Diantara hamparan padi yang menhijau itu masih terselip sepetak sawah yang ditanami kacang tanah, itu adalah sawah embah . Entah mengapa ketika orang-orang menanam padi simbahku palah memilih menanam kacang, yang sekarang sudah siap panen. “Mbah, kok beda sama yang lain?? Yang lain nanem padi kok mbah nanem kacang?” tanyaku “Owh, ini bekas nanem winih nduk,, buat nanem padi sawah lor,” jawab simbah sambil tersenyum Aku adalah orang desa. Ayahku seorang petani dan dari keluarga petani juga, sedangkan ibuku seorang pedagang yang berasal dari keluarga petani juga. Hampir seluruh masyarakat di daerahku bekerja sebagai petani, namun tak jarang pula yang menjadi pedagang dan PNS namun jumlahnya kecil sekali.  Namun aku bangga menjadi anak petani,bagiku petani adalah pahlawan. walau banyak orang memandang sebelah mata. Bagi mereka petani adal

Pengangkatan Anak

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Manusia sudah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi terkadang semua itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak, sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian , penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga tersebut terancam putus atau punah.
Menyerah!